Rabu, November 16, 2011

Sekilas KAPal

SEKILAS PEZIARAHAN GEREJA KATOLIK
DI SUMATERA SELATAN

Pengantar


Secara organisasi, umat Katolik di Provinsi Sumatera Selatan disatukan dalam apa yang disebut dengan Keuskupan Agung Palembang (selanjutnya disingkat: KAPal). Namun demikian, secara wilayah umat KAPal mencakup juga wilayah Provinsi Jambi dan Bengkulu. Bahkan dalam sejarah perkembangannya, umat Katolik KAPal juga erat terkait dengan sejarah umat Katolik di Provinsi Lampung dan Bangka-Belitung (Babel).


Tulisan ini hendak mengungkapkan secara singkat perjalanan umat Katolik KAPal, dan secara khusus terfokus pada umat di Provinsi Sumatera Selatan saja. Dengan istilah “peziarahan” dimaksudkan bahwa perjalanan sejarah dan perkembangan umat Katolik itu bukan hanya sekedar perjalanan waktu. Perjalanan itu merupakan suatu proses bagaikan suatu ziarah, yang dilandasi oleh keyakinan imannya.


Sejarah Singkat Keuskupan Agung Palembang (KAPal)


Sebagai jalur rute perdagangan di masa lampau, Pulau Sumatera sejak dahulu mempunyai peran penting sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dagang. Di antara para pedagang itu seringkali ikut serta juga para penyebar agama. Atau para pedagang seringkali juga sekaligus berperan dalam penyebaran agama yang dianutnya. Tak heran bila agama-agama masuk ke wilayah Sumatera (dan Indonesia) tak lepas dari peran mereka.


Dari data sejarah, agama Kristen sudah ada di wilayah Sumatera sejak abad VII. Para ahli sejarah menandai era tersebut dengan berdirinya sebuah gereja di daerah Barus (Fansur/ Pansur), Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sekitar tahun 645. Gereja ini di bawah kepemim-pinan Uskup Agung Gereja Kaldea (India). Namun perkembangan berikutnya dari gereja ini tak diketahui.


Sejarah perkembangan umat Kristen Katolik mulai tercatat kembali ketika abda ke-13 – 14, para misionaris Fransiskan menjelajahi wilayah Asia. Untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan, agama Katolik mulai berkembang ketika para pastor Italia (Ordo Theatin) melayani para serdadu Inggris dan para pedagang yang beragama Katolik di Bengkulu (1702). Saat itu Bengkulu merupakan kota pelabuhan penting yang dikuasai oleh Inggris. Para pastor saat itu hanya melayani kebutuhan rohani di wilayah benteng Inggris. Pada tahun 1762 misi di Bengkulu ditinggalkan. Wilayah Bengkulu kemudian menjadi rebutan antara Inggris dan Belanda. Dan akhirnya, tahun 1824 Bengkulu dikuasai oleh Belanda.


Sejak dikuasai Belanda karya misi Katolik di Sumbagsel dapat dikatakan terhenti. Belanda seringkali menghalang-halangi misi. Maka pelayanan rohani bagi umat Katolik saat itu cukup memprihatinkan. Kadang-kadang saja ada pastor yang melakukan perjalanan dari Sungai Selan (Bangka), Padang, atau Batavia untuk mengunjungi umat. Pada tahun 1887, misi Katolik diijinkan untuk berkarya di daerah Tanjung Sakti (± 30 KM dari Pagaralam ke arah Manna). Tanjung Sakti saat itu masuk dalam wilayah Ulu Manna, Karesidenan Bengkulu (Bengkoelen). Pastor Meurs berkarya sendirian di tengah suku Pasemah. Dalam karyanya ia berhasil menyusun Kamus Bahasa Rejang, “Letterschrief der Pasemah Oeloe Manna.” Pada tahun 1890 di antara penduduk telah dibaptis 8 anak dan 3 anak menjadi calon Katolik. Agar pelayanan pastoral di daerah misi lebih intensif, pada tahun 1891 Pastor Meurs dibantu oleh Bruder Vester.


Pada tanggal 8 Agustus 1891 Pastor van Meurs meninggal karena sakit keras di Tanjungsakti. Tahun berikutnya Bruder Vester pindah ke Maumere-Flores. Bulan Juni 1894, Pastor W.L. Jannisen, SJ bersama Bruder Zinken datang ke Tanjungsakti untuk melanjutkan karya para pendahulu. Umat telah berkembang menjadi 200 orang, dan pada tahun 1897 terjadi penerimaan sakramen krisma untuk pertama kalinya oleh Mgr. Staal dari Batavia.


Meski memiliki harapan yang cerah dan menjanjikan, karya misi di Tanjungsakti dihentikan. Bulan November 1898, Pastor Jannisen dipindahkan ke Padang. Beliau masih tetap mengunjungi umat Tanjungsakti beberapa kali dalam setahun, untuk meneguhkan iman mereka. Dari Tanjungsakti sebagai pos utama karya misi meluas ke Karesidenan Bengkoelen, Palembang, dan sekitarnya.


Pada tanggal 30 Juni 1911, Roma mengeluarkan dekrit tentang pemisahan wilayah misi Sumatera dari Batavia. Misi di seluruh Sumatera berpusat di Padang. Roma mengangkat Mgr. Libertus Cluts, OFM Cap, sebagai uskup Sumatera. Beliau mengemban tugas ini dari tahun 1921 hingga 1931.


Sementara itu pada tahun 1912, misi Katolik di Tanjung Sakti diserahkan dari para Jesuit kepada Ordo Kapusin. Saat itu iman Katolik telah cukup berkembang pesat di sana. Namun sekitar tahun 1914 umat Katolik banyak yang berpindah keyakinan. Saat itu pastor yang berkarya adalah Pastor Sigebertus OFM Cap dan dibantu Mr. J.C. Kielstra serta 7 suster SCMM. Bulan Agustus 1920, Pastor Mathias Brans tiba di Tanjungsakti menggantikan Pastor Sigebertus yang dipindah-tugaskan ke Padang. Pada tahun-tahun terakhir masa kekaryaan pastor-pastor Kapusin di Tanjungsakti keadaan semakin membaik. Karya misi imam-imam Kapusin berakhir setelah Imam-imam Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ) datang ke Tanjungsakti.


Pada tanggal 27 Desember 1923, wilayah misi Sumatera Selatan dipisahkan dari Prefectur Apostolik Sumatera (Padang). Wilayah Sumatera Selatan berubah statusnya menjadi Prefektur Apostolik Bengkoelen. Nama ini dipilih karena Tanjung Sakti yang merupakan pos utama misi terletak di wilayah Karesidenan Bengkoelen (Bengkulu). Tanggal 28 Mei 1926, Mgr. H.L. Smeets, SCJ diangkat menjadi uskup pertama. Dan pada bulan September 1924 para missionaris SCJ yang pertama tiba di Tanjungsakti.


Selain Tanjung Sakti, pos misi saat itu adalah Palembang, Bengkulu, Tanjungkarang-Teluk Betung dan Jambi. Jumlah umat Katolik makin bertambah setelah banyaknya orang Tionghoa dan Jawa menjadi Katolik. Namun karya misi di antara suku-suku Sumatera Selatan tidak berkembang. Misi Katolik saat itu mulai berkarya di bidang pendidikan dan kesehatan.


“Masa gelap” misi Katolik di Sumatera Selatan terjadi ketika Sumatera (Indonesia) dikuasai Jepang. Semua misionaris Eropa (pastor, suster) ditawan oleh Jepang di Belalu (Lubuk Linggau) dan kemudian dipindahkan ke Muntok (Bangka). Banyak dari antara mereka akhirnya wafat di kamp Jepang (11 pastor, 30 suster). Namun syukurlah masa kegelapan itu tak berlangsung lama. Setelah kemerdekaan Indonesia (1945), para misionaris dibebaskan dan mereka kembali ke tempat karya semula. Kerinduan umat akan pelayanan rohani dapat terobati.


Pada tanggal 19 Juni 1952, Vatikan menetapkan daerah misi Lampung terpisah dari Palembang. Misi Palembang melayani wilayah Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu (hingga sekarang). Pada tanggal 3 Januari 1961, Vatikan menetapkan Gereja Katolik Indonesia bukan lagi sebagai daerah misi. Indonesia dianggap sudah cukup mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Maka kemudian dibentuklah keuskupan-keuskupan sebagai kelanjutan karya misi. Begitu juga dengan Palembang, yang semula statusnya sebagai Vikariat Apsotolik, kini menjadi Keuskupan Palembang dengan Mgr. Henri Martin Mekkelholt, SCJ sebagai Uskup pertama. Mgr. Mekkelholt selanjutnya digantikan oleh Mgr. J.H. Soudant sejak 5 April 1963 sampai 20 Mei 1997.


Pada masa kepemimpinan Mgr J.H. Soudant seturut keputusan Tahta Suci ditahbiskanlah seorang uskup pembantu yakni Mgr. Aloysius Sudarso SCJ. Setelah Mgr. Soudant memasuki masa purna jabatan, 20 Mei 1997, maka Mgr. Al. Sudarso ditetapkan sebagai Uskup Palembang. Pada tanggal 1 Juli 2003, Paus Yohanes Paulus II, “menaikan” status Keuskupan Palembang menjadi Keuskupan Agung Palembang, sekaligus sebagai Provinsi Gerejawi dengan wilauah mencakup Keuskupan Tanjungkarang dan Keuskupan Pangkalpinang.


Kuria Keuskupan Agung Palembang (Personalia)

Uskup Agung             : Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ.
Vikaris Jenderal        : RP Felix Astono Atmojo, SCJ.
Sekretaris                  : RD F.X. Edi Prasetya, Pr.
Ekonom                      : RD Emmanuel Belo Sede, Pr.
Alamat                        : Jl. Tasik 18, Palembang 30153
Website                      : http://www.keuskupan-palembang.or.id/


Wilayah Keuskupan Agung Palembang


Keuskupan Agung Palembang mencakup 3 Provinsi yakni Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu. Dalam pelayanan rohani bagi umatnya maka dibagilah dalam wilayah yang disebut paroki. Paroki dipimpin oleh seorang pastor kepala dengan dibantu oleh beberap pastor. Wilayah paroki tergantung dari jumlah umat yang dilayaninya, jadi tidak mengikuti pembagian wilayah pemerintahan. Maka bisa jadi wilayah paroki itu lintas kecamatan, kabupaten atau bahkan lintas provinsi. Berikut ini adalah paroki-paroki Gereja Katolik yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Penempatan paroki berdasarkan kabupaten/kota didasarkan atas letak pusat paroki yang bersangkutan.


1. Kota Palembang : 8 paroki, yakni St. Paulus (Plaju), St. Maria Ratu Rosari (9/10 Ulu), Hati Kudus (Jl. Kol. Atmo), Katedral St. Maria (Jl. Dr. Sutomo), St. Yoseph (Jl. Sudirman), Sanfrades (Sungai Buah), St. Petrus (Kenten), dan St. Stefanus (Talangbetutu).


2. Kab. OKU : 2 paroki, yakni St. Petrus dan Paulus (Baturaja), Sang Penebus (Batuputih).


3. Kab. OKU Timur : 4 paroki, yakni Trinitas (Bangunsari, BK 3), St. Maria Assumpta (Mojosari, BK 9), St. Maria Tak Bernoda (Gumawang, BK 10), dan Para Rasul Kudus (Tegalsari, BK 21).


4. Kab. OKI : 1 paroki, yakni Kristus Raja (Tugumulyo, Lempuing)


5. Kab. Musi Rawas : 1 paroki, yakni St. Maria (Mataram, Tugumulyo).


6. Kota Lubuk Linggau : 1 paroki, yakni Penyelenggara Ilahi (Lubuk Linggau).


7. Kab. Lahat : 3 paroki, yakni St. Maria (Lahat), St. Mikael (Tanjung Sakti), dan St. Yosef (Tanjung Enim).


8. Kab. Banyuasin : 1 paroki, yakni Allah Maha Murah (Jalur 20, Purwodadi).








































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri komentar Anda di sini

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.